Derai-Derai Cemara
Karya Chairil Anwar
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
I.
Analisis
Unsur Intrinsik
1.
Tema
Tema yang
digunakan dalam puisi “Derai-Derai Cemara” adalah tentang perubahan yang
terjadi didalam diri manusia yang
terpisah dari kehidupan masa lalu.
2.
Diksi
Diksi yang
digunakan dalam puisi ini sangat sederhana, sehingga pembaca mudah memahami
puisi ini, selain itu pembaca juga seolah-olah merasakan apa yang dialami oleh
pengarang.
3.
Majas
Didalam puisi “Derai-Derai Cemara”
terdapat beberapa majas atau gaya bahasa, diantaranya yaitu :
a.) Majas Personifikasi
(perumpamaan benda mati sebagai makhluk hidup)
“Dipukul
angin yang terpendam”
Kalimat diatas menggunakan
majas personifikasi karena yang sifatnya bisa memukul adalah manusia bukan
angin.
b.) Majas Alegori (menyatakan
dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran)
“Hidup
hanya menunda kekalahan”
Kalimat
diatas menggunaan majas alegori karena memiliki makna bahwa hidup itu berarti
sia-sia.
4.
Rima
Rima adalah
pengulangan bunyi untuk membentuk eindahan bunyi. Dalam puisi ini pengarang
menggunakan rima dengan akhiran a-b-a-b dari bait pertama sampai bait ketiga.
5.
Tipografi
Tipografi adalah
penataan bentuk larik atau baris dalam puisi yang dapat menambah aspek kekuatan
makna dan ekspresi penyair. Dalam puisi “Derai-Derai Cemara” terdiri dari tiga
bait, dan setiap baitnya terdiri dari empat larik. Bait pertama sampai bait
ketiga hadir dengan tipografi lurus dan struktur yang teratur dengan pola rima
a-b-a-b, tetapi tidak sama dengan pantun karena tidak ada sampirannya, semua
larik digunakan oleh pengarang sebagai sarana pengantar kepuitisan. Kata-kata
yang digunakan dalam sajak ini kebanyakan diisi dengan simbol, citraan, gaya
bahasa, dan sarana puitis. Sarana puitis inilah yang digunakan pleh pengarang
untuk menggambarkan hidupnya yang semakin lemah.
6.
Amanat
Puisi ini cocok
dibaca oleh semua kalangan karena pada saat ini masyarakat cenderung bekerja
keras tetapi lupa pada penciptanya. Puisi ini dapat mengajarkan kita bahwa
sesungguhnya sekeras apapun kita berusaha tetap saja semua jalan hidup dan
keputusan Allah Swt yang menentukannya.
II.
Analisis
Unsur Ekstrinsik
1.
Biografi
Pengarang
Chairil
Anwar (Medan, 26 Juli 1922 — Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai “Si
Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku ) adalah penyair terkemuka
Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin
sebagai pelopor Angkatan ‘45 dan puisi modern Indonesia.
Masa Kecil
Dilahirkan di Medan,
Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja
sebagai pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian
keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil masuk Hollands
Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah
Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.
Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya
yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas
tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta
di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak
selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman,
dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama,
seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.
Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi
tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan
Indonesia.
Masa Dewasa
Nama Chairil mulai
terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan”
pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua
puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi
penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir
hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Semua tulisannya yang
asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru
Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga
Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Akhir Hidup
Vitalitas puitis Chairil
tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya
hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun,
dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda
karena penyakit TBC. Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari
meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
2.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam puisi “Derai-Derai Cemara” diantaranya yaitu :
a.)
Nilai
Moral
Untuk
berusaha mencapai cita-cita atau apa saja yang kita inginkan.
b.)
Nilai
Agama
Bahwa
setiap yang bernyawa pasti akan mati, oleh karena itu kita diberi batas waktu
untuk menggapai cita-cita atau apa saja yang diinginkan. Jadi manfaatkanlah
waktu sebaik mungkin dan semampu kita.
3.
Menghubungkan
Puisi Dengan Realitas Alam
Pada bait pertama sangat banyak berhubungan dengan
alam, seperti yang terdapat pada kalimat :
“Cemara menderai sampai
jauh”
Kalimat diatas memiliki maksut bahwa dedaunan cemara
yang jatuh berguguran seolah-olah menceritakan sebuah kehidupan yang mulai
lelah. Lalu pada bait selanjutnya yaitu :
“Terasa hari akan jadi
malam”
Malam identik dengan kesunyian, kegelapan, waktu
untuk istirahat dan akhir dari sebuah kejadian yang terjadi hari ini. Kalimat
diatas merupakan penggambaran tentang perjalanan hidup yang pasti akan selalu berakhir
dan semua yang bernyawa pasti akan mati.
4.
Menghubungkan
Dengan Sosial Budaya
Hubungannya
terlihat pada bait kedua yaitu tentang kewajiban atau batasan yang bisa
dilakukan oleh anak-anak atau orang dewasa. Dalam masyarakat ada pembagian
tanggung jawab, antara anak-anak dan orang dewasa memiliki tanggung jawab yang
berbeda.
III.
Interpretasi
Puisi
“Derai-Derai Cemara” pada judul merupakan gambaran
dari daun-daun cemara yang berguguran. Mempunyai makna tentang runtuhnya harapan
penyair sejak awal masa kanak-kanaknya.
1.
Bait
Pertama
a.)
Kalimat
I
“Cemara menderai sampai jauh”
Cemara
merupakan pohon yang berbatang tinggi, lurus, daunnya kecil-kecil seperti lidi
dan mudah terhempas oleh angin. Menderai sendiri maknanya berjatuhan atau berguguran.
Cemara menerai sampai jauh disini maksutnya bahwa dedaunan cemara yang jatuh
berguguran, seolah-olah menceritakan sebuah perjalanan kehidupan yang mulai
lelah.
b.)
Kalimat
II
“Terasa hari akan jadi
malam”
Malam sendiri identik dengan
kesunyian, kegelapan, waktu untuk istirahat, dan akhir dari sebuag kejadian
yang terjadi hari ini. Terasa hari akan jadi malam merupakan penggambaran
tentang perjalanan hidup yang pasti akan selalu berakhir dan semua yang
bernyawa pasti akan mati.
c.) Kalimat III
“Ada
beberapa dahan di tingkap merapuh”
Tingkap sendiri artinya jendela
yang berada di atap (di dinding dan sebagainya). Sedangkan dahan bermakna
sebagai keyakinan pengarang yang ingin hidup lebih lama dan melawan kematian.
Sementara merapuh karena dahan itu (keyakinan)
pengarang yang ingin hidup lebih lama semakin merapuh.
d.)
Kalimat
IV
“Dipukul angin yang
terpendam”
Angin digambarkan tentang segala
cobaan dan kepahitan hidup yang dialami oleh pengarang. Dipukul angin yang
terpendam, mungkin disini maksutnya pengarang ingin mengatakan sesuatu pada
seseorang tetapi tidak pernah bisa dikatakan, seperti tertahan
ditenggorokannya. Pengarang hanya bisa memendam perasaannya, hal ini
menyebabkan pertentangan batin yang memukul dahan (keyakinan) yang merapuh dari
dalam diri pengarang.
2.
Bait
Kedua
a.)
Kalimat
I
“Aku sekarang orangnya bisa tahan”
Pengarang saat ini sudah tahan
dengan keadaan (segala cobaan dan kepahitan hidup) yang pengarang pernah alami
sebelumnya.
b.)
Kalimat
II
“Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi”
Menggambarkan tentang pandangan
yang terjadi saat pengarang masih kanak-kanak dan pandangan itu tidak ada
keterkaitannya ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa
kanak-kanaknya. Sekarang pengarang sudah didewasakan oleh keadaan dimana dia
pernah merasakan pengalaman pahit, rapuh dan dia sudah bisa menerima keadaan
jika sesuatu yang dia inginkan tidak semuanya bisa didapatkan atau dimiliki.
c.)
Kalimat
III
“Tapi
dulu memang ada suatu bahan”
Pernyataan pengarang bahwa dia
mempunyai pengalaman yang mampu mendewasakannya. Dia juga mempunyai cita-cita
atau pandangan hidup pada masa kecilnya.
d.)
Kalimat
IV
“Yang
bukan dasar perhitungan kini”
Apa yang dicita-citakan pengarang
pada waktu kecil tidak terjadi pada masa sekarang (saat dewasa), dan pandangan
tentang hidupnya telah berbeda dari apa yang pernah pengarang pikirkan saat dia
masih kanak-kanak.
3.
Bait
Ketiga
a.)
Kalimat
I
“Hidup
hanya menunda kekalahan”
Kekalahan adalah simbol suatu
kepasrahan dan sangat identik dengan keputusasaan, penderitaan bahkan kematian.
Pengarang menyadari bahwa kehidupan manusia pasti akan berakhir. Kematian
merupakan bentuk kekalahan manusia. Manusia tidak bisa mengelak, karena
kematian merupakan ketentuan yang harus diterima dari Allah Swt.
b.)
Kalimat
II
“Tambah
terasing dari cinta sekolah rendah”
Cita-cita penyair pada masa
kanak-kanak begitu cemerlang namun dia selalu mengalami penderitaan (cobaan)
dalam hidupnya. Pada kata “terasing” menceritakan tentang rencana pengarang
tentang cita-cita atau tujuan hidupnya, namun berbeda dengan apa yang
diharapkan, sehingga membawa dia ke dunia yang dianggap asing dan pada akhirnya
berujung pada kepasrahan atau menyerah pada kematian.
c.)
Kalimat
III
“Dan
tahu, ada yang tetap tidak terucapkan”
Pengarang ingin berbagi kegetiran
hidup, ingin mengatakan cinta tetapi tidak berani untuk mengungkapkannya dan
hanya memendam semua itu dalam jiwanya. Semuanya dia simpan sendiri tidak ingin
diucapkan atau memang tidak bisa diucapkan kepada orang lain.
d.)
Kalimat
IV
“Sebelum
pada akhirnya kita menyerah”
Pengarang merasakan lelah, raganya
tidak kuat lagi dan memutuskan untuk berhenti memperjuangkan apa yang
diinginkan karena pada dasarnya tidak semua yang diinginkan bisa dimiliki.
Pengarang sudah berjuang sekuat tenaga, tetapi tetap saja tidak bisa dan pada
akhirnya dia merasa sudah waktunya untuk menyerah. Segala sesuatu yang terjadi
di dunia ini pasti akan berakhir, dan setiap yang bernyawa pasti akan mati.
IV.
Tingkat
Pengalaman Jiwa Pengarang dalam Puisi “Derai-Derai Cemara”
1.
Anargonis
Pengarang sudah
mencapai tingkat pengalaman jiwa yang pertama karena apa yang sedang dirasakan
oleh pengarang, dia mampu menuangkannya dalam rangkaian kata-kata yang indah
dengan pilihan diksi yang mudah dipahami oleh pembaca. Selain itu pengarang telah
memberikan imajinasi atau daya bayang kepada pembaca.
2.
Vegetatif
Tingkatan
pengalaman jiwa pengarang sudah mencapai tingkatan yang kedua karena didalam
menciptakan puisi sudah terlihat jelas dan dapat dirasakan oleh pembaca.
Didalam puisi ini berisikan suasana sedih, pasrah dan putus asa. Pengarang
menggambarkan perjalan hidup tokoh dari masa kanak-kanak hingga dewasa, selain
itu secara eksplisit juga menggambarkan bahwa manusia itu hidup semakin lama
akan semakin menua hingga pada akhirnya harus menyerah dengan kematian.
3.
Animal
Tingkatan
pengalaman jiwa pengarang sudah mencapai tingkatan ketiga. Tingkatan ini sudah
ada dalam jiwa pengarang yang berkeinginan untuk tetap berusaha mewujudkan apa
yang dicita-citakannya, meskipun pada akhirnya tidak semua yang diinginkan bisa
tercapai.
4.
Filosofi/Religius
Tingkatan pengalaman jiwa pengarang
sudah mencapai tingkatan yang paling tinggi. Tingkatan ini sudah ada dalam jiwa
pengarang karena didalam puisinya ingin memberitahukan kepada pembaca bahwa
kehidupan manusia itu pada dasarnya pasti akan berakhir, dan kematian merupakan
bentuk kekalahan manusia. Manusia tidak dapat mengelak, karena kematian
merupakan ketentuan yang harus diterima dari Allah Swt.
alasan dari tema-nya apa kak?
BalasHapus