20171027

Analisis Novel "Sebuah Lorong di Kotaku"

IDENTITAS NOVEL :

Judul               : Sebuah Lorong di Kotaku
Karya              : Nh. Dini
Halaman          : 105 halaman
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit     : 1986
Cetakan           : kesepuluh

SINOPSIS NOVEL “SEBUAH LORONG DI KOTAKU

Bentuk rumah yang memiliki cirri khas kekunoan dan halaman luas itu telah memikat hati ibu. Akhirnya kakek dari kedua belah pihak mengeluarkan biaya masing-masing sebagai uang pembelian. Sejak beberapa hari hujan turun dengan kepadatan musim yang tidak dapat ditahan. Kala itu Dini tidak diperbolehkan main keluar karena cuaca yang tidak bersahabat. Dini hanya diperbolehkan main di dalam rumah, biasanya ibu Dini menyuruhnya untuk bermain di tengah pendapa yang ada meja bilyarnya. Biasanya di cuaca buruk seperti itu Dini bermain ditemani dengan anak pembantunya yang perempuan.
Suatu ketika Ayah Dini menawarkan pada kami semua untuk mengunjungi kakek yang berada di Tegalrejo. Liburan ke desa yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga di depan mata. Ibu mempersiapkan bekal perjalanan, Ibu tidak pernah setuju kalau harus membeli makanan di perjalanan, alasanya sederhana selain soal uang, makanan dari luar juga kurang terjaga kebersihannya. Kami melakukan perjalanan dengan kereta api. Saat kereta berhenti di Madiun, kami bertemu dengan paman Sarosa yang juga akan ikut bersama kami ke rumah kakek. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus dan andong. Langit kelihatan redup karena matahari telah turun. Kami sampai di rumah kakek ketika hari sudah gelap. Di rumah kakek kami disambut dengan gembira. Disana Dini dan keluarganya menghabiskan waktu untuk bermain-main di sawah dan berkeliling desa. Paman Sarosa membukakan rahasia isi kebun kepadaku. Dia menunjukkan kepadaku bahwa sawah dapat menghasilkan bermacam-macam bahan pengisi wajan dan kuali. Keesokan harinya paman membawa kami lebih jauh, menuruti jalannya sungai. Kami semua dibawa ke sebuah sungai untuk sekadar bermain-main dan beranang disana.


Dua hari telah berlalu Dini dan keluarganya harus menyudahi kesenangannya di desa, dan melanjutkan perjalanan ke Ponorogo tempat orang tua dari Ibu Dini, di rumah pak Dhe dan Bu Dhe sebutannya. Sore waktu asar, kami semua sampai di Ponorogo. Dini merasa tidak nyaman di rumah Pak De dan Bu De karena segala sesuatu yang kami perbuat harus diperhitungkan. Selama tiga hari di Ponorogo, kenangan yang terpaku di dalam ingatan Dini bukanlah keakraban keluarga, melainkan dingin dan penuh aturan yang tidak masuk akal. Tak sekalipun Dini dan kakak-kakaknya merasakan kehangatan sebagai seorang cucu si pemilik rumah.
Tiga hari telah berlalu, kami meninggalkan Ponorogo tanpa menyesal. Ayah memutuskan untuk singgah sebentar di Surakarta. Disana kami tiba sore hari untuk berkunjung ke rumah Mbah Patih atau Mbah Lik, dankeesokan harinya kami harus sudah melanjutkan perjalanan pulang ke Semarang. Begitu kembali ke rumah, kuperhatikan kesibukan yang tidak semestinya mengambil peranan di segala penjuru. Ibu lebih banyak menyibukkan diri untuk menyimpan makan kering untuk disimpan di loteng. Setiap malam para tetangga juga berdatangan ke rumah untuk mendengarkan siara radio langsung dari Australia. Dengar-dengar akan terjadi perang. Saat liburan puasa Dini dan Maryam kembali mengunjungi kakek di desa. Mereka mengahbiskan waktu liburan lebaran disana. Beberapa hari sebelum Lebaran, orang tua dan kakak-kakak Dini yang lain menyusul ke rumah kakek.
Dini mulai bersekolah dan semuakakakku sekolah di HIS. Di HIS semua murid harus berbahasa Belanda. Tapi ayah selalu mewajibkan kami berbahasa Jawa.Suatu hari ketika Dini asyik bermain dengan teman-teman mendadak terdengar suara-suara letusan, diiringi raungan sirene tanda bahaya.Maryam memaksa pulang karena kami akan mengungsi ke kampung Batan. Sejak waktu itu siang maupun malam hari sering kali ada serangan. Semua kantor dan sekolah ditutup. Kendaraan umum tidak diperbolehkan untuk hilir mudik. Karena ibu tidak mau mengungsi, ayah membuat lubang perlindungan di bawah pohon mangga. Untuk penutupnya digunakan ranting-ranting dan daun. Kesukaran bahan makanan mulai terasa. Seisi kampung mulai khawatir akan adanya kelaparan. Sebisa mungkin orang tua Dini membagi apa yang dihasilkan dari kebun untuk dibagikan kepada para tetangga.
Kala itu salah satu kakakku Teguh mengatakan bahwa Belanda sudah meninggalkan Indonesia, dan kepemimpinan beralih ke tangan Jepang.
ANALISIS NOVEL
            Novel Sebuah Lorong di Kotaku dapat menginspirasi pembaca dengan adanya unsur-unsur yang membangun dari dalam maupun dari luar. Unsur yang membangun dari dalam ialah unsur intrinsik, sedangkan unsur yang membangun dari luar ialah unsur ekstrinsik.
1.        UNSUR INTRINSIK
            Novel Sebuah Lorong di Kotaku karya NH. Dini mengandung tema tentang kasih sayang yang diberikan keluarga tokoh utama yaitu Dini. Kasih sayang tersebut digambambarkan dengan perlakuan Ibu kepada Dini yang selalu tidak pernah membiarkan Dini untuk lepas dari pengawasannya. Ibu selalu merasa khawatir tentang apa yang dilakukan oleh Dini. Ibu selalu memantau perbuatan apa saja yang dilakukan oleh Dini.
            Dini sebagai tokoh utama dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku digambarkan sebagai seorang anak yang masih kecil yang tinggal bersama kedua orang tua dan keempat kakak-kakaknya. Mereka tinggal di sebuah desa di kota Semarang. Dini adalah anak yang baik hati dan lugu, dia selalu menuruti apa semua perkataan kedua orangtuanya dan tak pernah membantah. Dari kecil Dini memiliki sifat yang rendah hati dan sederhana, terlihat ketika Dini masuk sekolah, Dini tidak ingin memakai pakain mewah dan serba baru seperti teman-temannya. Dini memiliki pemikiran bahwa pakaian bukanlah hal utama dalam menuntut ilmu.
Kukatakan kepada ibuku bahwa aku tidak ingin kelihatan seperti hendak pergi ke pesta. Semula dia tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba mengatakan hal semacam itu. Sambil berpikir sebentar, dia mengarahkan pandangan ke sekeliling. Segera tersenyum, menunduk dan mencium pipiku.”
                                                                                       (SLdK 1986: 87)
            Ayah adalah sesosok pemimpin kelurga yang baik dan bertanggung jawab. Ia begitu menyayangi keluarga kecilnya. Ia sangat tahu bagaimana cara memanjakan kelima anak-anaknya. Terlihat ketika Ia dengan diam-diam selalu memperbolehkan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh kelima anaknya itu tanpa sepengetahuan Ibu, seperti Ayah memanjakan Teguh dengan sekali-kali main ke sungai, membelikan buku pola sulam untuk Heratih, dan untuk Dini dan Maryam terkadang Ia memberi kami sebuah makan seperti coklat susu, kelengkeng, dan jeruk keprok. Kecintaan Ayah terhadap keluarganya terlihat juga ketika perang terjadi lagi untuk kesekian kalinya. Dia selalu melakukan segala cara untuk menyelamatkan keluarga yang sangat ia sayangi. Banyak cara yang Ayah lakukan, salah satunya membuat lubang persembunyian di belakang rumah di bawah pohon mangga dan juga membuat tempat perlindungan di dalam rumah dengan cara diatas meja makan yang besar ditaruh dua sampai tiga lapis kasur dan disisi-sinya juga di ditutup dengan kasur. Di tempat itulah Ayah membuat perlindungan untuk kami tidur dibawahnya. 
            Ibu adalah sosok seseorang yang baik hati dan begitu penyayang. Ia sangat menyayangi keluarganya. Ia juga sosok yang selalu rendah hati terhadap siapapun, tak pernah memandang status dan martabat. Ibu juga seorang yang sangat menyayangi binatang. Ketika kucing kesayangan Ibu yang bernama Meo pergi, seisi rumah harus mencarinya di penjuru kampung sampai ketemu. Banyak orang yang menyegani Ibu karena kebaikan dan ketulusan hatinya. Ia juga selalu menjaga perasaan orang lain.
Ketika malam mulai tiba, pemilik rumah menyilakan Ibu pergi ke dalam, karena hendak disuguh makan. Tetapi dengan lemah lembut Ibu menolak. Banyak orang disini, Pak. Apalagi kami sudah bawa makanan sendiri. Kalau saya makan ke dalam, mereka tentulah menjadi iri.”
                                                                                       (SLdK 1986:93)
Penulisan dalam novel “Sebuah Lorong di Kotaku” menggunakan alur maju. Pengarang menceritakan jalan cerita dengan urutan waktu yang sistematis dan kronologis, dari tahap perkenalan sampai tahap penyelesaian dan tidak diacak. Pembaca seolah-olah diajak mengikuti jalannya cerita dari sejak Dini dilahirkan sampai beranjak menjadi kanak-kanak. Penggunaan alur maju ini sangat memudahkan bagi pembaca karena jalan cerita difokuskan pada cerita-cerita selanjutnya tanpa harus selalu mengulas masa lalu dan penulis dapat berhasil menciptakan daya bayan pembaca yang seolah-olah dibawa didalam cerita dan dapat merasakan kejadian yang dirasakan oleh tokoh utama dalam novel tersebut.
Sudut pandang pada novel “Sebuah Lorong di Kotaku” adalah sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama yaitu Aku.Pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan bertindak sebagai tokoh cerita.

“Aku menjadi gelisah oleh ketidaksabaran. Kutunggu waktu baik untuk membangunkan Ibu. Aku bangkit mendudukan diri. Di ujung kiri Nugroho yang ada di pinggir, tubuhnya melengkung mengambil banyak temapt.”                                                                        (SLdK 1986:57)
NH. Dini dalam menggambarakan jalan cerita “Sebuah Lorong di Kotaku” memilih beberapa latar tempat yang digunakan untuk mendukung jalannya cerita. Latar tempat pertama terjadi di Semarang di sebuah kota tempat Dini dan kelurganya tinggal dan beraktivitas.
“Bersama Maryam aku berkelanan di kebun. Di bagian belakang, karena rasa takut, masih banyak bagian dan yang belum pernah kukunjungi dan ku kenal.”
                                                                                       (SLdK: 1986:99)
Latar tempat yang kedua yaitu terjadi di belakang rumah. Tepat di belakang rumah semua karunia Tuhan seperti telah tersedia, karena halaman yang luas tersebut dapat menghasilkan berbagai macam tanaman dan pepohonan yang dapat menghasilkan buah-buahan, serta ketika banjir tiba, belakang rumah dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyerok ikan dan hasil dari menyerok ikan pasti selalu berlimpah.
“Hasil pertama tidak begitu memuaskan. Hanya dua ikan berukuran sedang dan beberpa ekor kecil-kecil. Kedua kalinya, ayahku turut menggiring ikan-ikan yang berenang di bawah permukaan air itu kea rah perangkap. Barangkali karena itulah ketika diserok, ada lebih dari sepuluh ikan lele yang cukup besar dan beberapa ikan khutuk, berturut-turut demikian. Selalu ikan besar bercampur dengan ikan kecil.”
                                                                                      (SLdK 1986:27-28)
            Latar tempat ketiga yaitu terjadi di Tgalrejo tempat kakek dan nenek dari Ayahku. Disana kami belajar banyak hal karena kakek adalah seorang Kyai yang mashur dan terkenal. Banyak pelajaran agama dan pelajaran hidup yang di dapat dari sana. Kakek selalu mengajari kami tentang agama.
“Kakek melihat bahwa diatas meja tersedia segala macam rangsangan. Tetapi dia berpendapat bahwa sanggup dan berani menolak rangsangan itu telah berarti memiliki kekuatan. Dari sanalah manusia dapat mengukur kekuatannya sendiri untuk menahan napsu.”
                                                                                      (SLdK 1986:55-56)
            NH. Dini dalam novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengambil latar waktu pagi hari, siang hari (lohor), sore waktu asyar, malam hari, dua hari, dan tiga hari. Pada novel tersebut penulis memilih suasana yang penuh dengan keakraban ketika mereka semua duduk dan berbincang-bincang dan suasana khitmat ketika mereka semua terdiam dan santun saat menikmati hidangan makanan, karena menurut Ibu bahwa makanan adalah karunia dari Tuhan dan itu harus dihormati.
            Novel “Sebuah Lorong di Kotaku” termasuk kategori gaya bahasa langsung. Pengarang menceritakan sendiri semua peristiwa-peristiwa yang terjadi baik pada dirinya sendiri maupun orang lain disekitarnya.Gaya bahasa yang dipakai dalam penulisan novel tersebut menggunakan majas personifikasi. Majas personifikasi terlihat pada kutipan berikut:
Matahari sudah mulai mengirim sinarnya, lembut menyemburat memberi tanda kepada bintang-bintang agar mengundurkan diri dan beristirahat.”
                                                                                       (SLdK 1986:33)
Amanat yang disampaikan penulis kepada pembacapada novel “Sebuah Lorong di Kotaku”adalah tentang mensyukuri sebuah nikmat dan karunia Tuhan. Mengajarkan untuk hidup sederhana dan taat pada aturan yang berlaku. Penulis juga menyisipkan amanat tentang kepedulian sesama saling tengang rasa dan tolong menolong.
2.        UNSUR EKSTRINSIK
Unsur pembangun sebuah karya sastra atau novel bukan hanya unsur intrinsik, tetapi ada unsur ekstrinsik yang ikut membangun. Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur-unsur karya sastra yang berada diluar karya sastra tersebut. Akan tetapi, secara tidak langsung unsur ekstrinsik mempengaruhi proses pembuatan sebuah karya sastra.
Unsur ekstrinsik pembangun novel Sebuah Lorong di Kotaku salah satunya adalah latar belakang pengarang. Nh. Dini sebagi penulis novel Sebuah Lorong di Kotaku memiliki nama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan nama N.H. Dini. Lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936; umur 80 tahun. N.H. Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia. Setamat SMA bagian sastra tahun 1936, beliau mengikuti Kursus Pramugari Daraat GIA Jakarta tahun 1956, dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarahpada tahun 1957. Tahun 1957 sampai tahun 1960 beliau bekerja di GIA Kemayoran Jakarta. Nh. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang Konsul Prancis di Kobe, Jepang pada tahun 1960. Dari pernikahannya beliau dikaruniai dua orang anak. Setelah menikah Nh.Dini berturut-turut bermukim secara berpindah-pindah di Jepang, Kamboja, Filipina, Prancis, Amerika Serikat sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat. Sejak tahun 1980, Nh. Dini menetap kembali di Semarang Indonesia.
 Karyanya : Dua Dunia (1965), hati yang Damai (1961), La Barka (1977), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatran (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1987), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang-orang Tran (1985). Trejemahannya : sampar (karya Albert Camus, La Peste; 1985).
Sejarah hidup N.H. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul". N.H. Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati.
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel “Sebuah Lorong di Kotaku” juga merupakan bagian dari unsur ekstrinsik. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini antara lain nilai moral, nilai sosial, nilai religius, dan nilai kebudayaan. Nilai moral terlihat ketikasaat makan tidak diperbolehkan untuk banyak berbicara. Makanan adalah karunia Tuhan dan harus dihormati. Saat makan, makanan harus dikunyah tanpa ada suara dan mulut tertutup. Jika makan dengan garpu dan sendok, harus dijaga jangan sampai bersentuhan atau bersuara. Nilai sosial terlihat ketikan kesukaran bahan makanan semakin terasa. Para warga kampung mulai khawatir akan adanya kelapara. Sebisa mungkin, Ibu dan Ayah Dini membagi apa yang dihasilkan dari kebun untuk dibagikan kepada tetangga-tetangga terdekat. Nilai Religius terlihat ketika kakek mengajarkan pada kita tentang agama bahwa kita dapat berbicara kepada Tuhan dalam bahasa apa pun juga. Mengaji itu hanya agar orang dapat membaca tulisan dan bahasa Arab, karena agama islam lahirnya di negeri Arab, karena Nabi Muhammad  menerima doa-doa dalam bahasa Arab. Lagi pula bahasa arab itu indah didengar. Seperti nyanyian, seperti tembang kita. Jadi ada baiknya dipelajari. Nilai kebudayaan terlihat ketika istilah pamit sangat ditentang. Menurut kepercayaan, seseorang penjual tidak boleh mengucapkan kata kata pamit agar tidak menghalangi lakunya dagangannya.
3.        KELEBIHAN DAN KEKURANGAN NOVEL
Sebuah karya sastra tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari novel Sebuah Lorong di Kotaku novel tersebut yaitu Penulis mampu membangun imajinasi pembaca melalui penggambaran  keadaan tokoh yang seolah-olah terjadi di kehidupan nyata. Selain itu pembaca dapat mengambil beberapa pelajaran berharga tentang betapa pentingnya kasih sayang dan kehangatan keluarga. Dari penggambaran tokoh Dini sendiri mengajarkan kita agar selalu hidup dalam kesederhanaan dan keramahtamahan.
Kekurangan yang terdapat didalam novel yaitu bahasa yang digunakan sedikit sulit untuk dipahami, karena ada beberapa kata-kata yang menggunakan bahasa Jawa. Penulis kurang menggambarka tokoh-tokoh lain seperti penggambaran kakak-kakak Dini, Pak De dan Bu De. Cover juga kurang menarik dan terkesan monoton, serta judul buku dan isi buka masih belum tergambar jelas keterkaitan antara keduanya.
4.        TINGKATAN PENGALAMAN JIWA PENGARANG
Tingkat pengalaman jiwa Nh. Dini dalam novel Jalan Bandungan tersebut sudah mencapai tataran ke-lima yaitu tataran religius. Penulis sudah mampu merangkai cerita demi cerita mulai dari tataran anorganis, tataran vegetatif, tataran animal, tataran humanistik, hingga sampai pada tataran religius.
Tingkat pengalaman jiwa pada tataran anorganis terlihat dari penulis mampu menuangkan ide serta gagasannya dalam bentuk kalimat demi kalimat yang mampu memunculkan daya bayang pembaca disertai dengan pemilihan diksi yang menarik dan tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pengarang juga mampu membuat pembaca seolah-olah merasakan apa yang tokoh dalam novel rasakan.
Tingkat pengalaman jiwa pada tataran vegetatif novel tersebut terlihat ketika suasana dalam novel ini sudah terbayang oleh pembaca. Pembaca dapat merasakan kehidupan tokoh dari lahir sampai kanak-kanak dan bersekolah. Penulis sudah menggambarakan kehidupan suka duka tokoh utama.
Tingkat pengalaman jiwa pada tataran animal terlihat dari hasrat ingin menyerok ikan. Dimana Dini memiliki keinginan yang besar agar turut menyerok ikan di belakang rumah. Tataran animal tidak terlalu tergambar jelas dalam novel tersebut.
Tingkat pengalaman jiwa pada tataran humanis dapat dirasakan dari rasa tolong menolong keluarga Dini dengan para warga. Dimana saat perang terjadi lagi kekhawatiran kekurangan bahan makanan menjadi kenyataan, dan orang tua Dini menolong warga setempat dengan membagikan hasil kebun kepada tetangga terdekat.
Tingkat pengalaman jiwa pada tataran religius atau filosofi dalam novel tersebut dapat dilihat dari kakek Dini yang selalu mengajarkan tentang agama. Kakek Dini mengajarkan tentang berpuasa, berdoa kepada Tuhan dengan bahasa apapun tidak hanya dengan bahasa Arab saja. Dalam novel tersebut jelas sudah digambarkan adanya renungan-renungan vertikal hubungan antara manusia dengan Tuhan. Banyak sekali hal dan kegiatan yang selalu dilakukan kakek untuk berkomunikasi dengn Tuhan, entah itu denan merenung di sebuah bilik, berpuasa, dan sembayang. Ada juga sejarah tentang kampung yang dilindungi oleh wali-wali pembangun  mesjid Demak. Karena menurut cerita, di kampung itulah para wali menyimpan kayu-kayu yang didatangkan dari gunung melalui Sungai Semarang di belakang rumah. Di tempat penimbunan kayu itu para wali mendirikan langgar sebagai tempat pesanggrahan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, terlihat jika novel Sebuah Lorong di Kotakumempunyai pengalaman jiwa yang luas dan kuat, walaupun tingkatan ketiga yaitu tingkatan animal belum tergambar begitu jelas dalam cerita, namun penulis berhasil menggambarkan setiap peristiwa dalam novel secara kronologis dan sistematis. Runtut dari penggarabaran awal perkenalan hingga tahap akhir penyelesaian.







0 komentar:

Posting Komentar

 

Honey Bunny Template by Ipietoon Cute Blog Design