IDENTITAS NOVEL
:
Judul :
Sebuah Lorong di Kotaku
Karya :
Nh. Dini
Halaman :
105
halaman
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 1986
Cetakan :
kesepuluh
SINOPSIS NOVEL “SEBUAH LORONG DI
KOTAKU”
Bentuk rumah yang memiliki cirri khas kekunoan dan
halaman luas itu telah memikat hati ibu. Akhirnya kakek dari kedua belah pihak
mengeluarkan biaya masing-masing sebagai uang pembelian. Sejak beberapa hari
hujan turun dengan kepadatan musim yang tidak dapat ditahan. Kala itu Dini
tidak diperbolehkan main keluar karena cuaca yang tidak bersahabat. Dini hanya
diperbolehkan main di dalam rumah, biasanya ibu Dini menyuruhnya untuk bermain
di tengah pendapa yang ada meja bilyarnya. Biasanya di cuaca buruk seperti itu
Dini bermain ditemani dengan anak pembantunya yang perempuan.
Suatu ketika Ayah Dini menawarkan pada kami semua
untuk mengunjungi kakek yang berada di Tegalrejo. Liburan
ke desa yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga di depan mata. Ibu mempersiapkan bekal perjalanan, Ibu tidak pernah
setuju kalau harus membeli makanan di perjalanan, alasanya sederhana selain
soal uang, makanan dari luar juga kurang terjaga kebersihannya. Kami melakukan
perjalanan dengan kereta api. Saat kereta berhenti di Madiun, kami bertemu
dengan paman Sarosa yang juga akan ikut bersama kami ke rumah kakek. Perjalanan
kemudian dilanjutkan dengan naik bus dan andong. Langit kelihatan redup karena
matahari telah turun. Kami sampai di rumah kakek ketika hari sudah gelap. Di
rumah kakek kami disambut dengan gembira. Disana Dini dan keluarganya
menghabiskan waktu untuk bermain-main di sawah dan berkeliling desa. Paman
Sarosa membukakan rahasia isi kebun kepadaku. Dia menunjukkan kepadaku bahwa
sawah dapat menghasilkan bermacam-macam bahan pengisi wajan dan kuali. Keesokan
harinya paman membawa kami lebih jauh, menuruti jalannya sungai. Kami semua
dibawa ke sebuah sungai untuk sekadar bermain-main dan beranang disana.
Dua hari telah berlalu Dini dan
keluarganya harus menyudahi kesenangannya di desa, dan melanjutkan perjalanan ke Ponorogo tempat orang
tua dari Ibu Dini, di rumah pak Dhe dan Bu Dhe sebutannya. Sore waktu asar,
kami semua sampai di Ponorogo. Dini merasa tidak nyaman di rumah Pak De dan Bu
De karena segala sesuatu yang kami perbuat harus diperhitungkan. Selama tiga
hari di Ponorogo, kenangan yang terpaku di dalam ingatan Dini bukanlah
keakraban keluarga, melainkan dingin dan penuh aturan yang tidak masuk akal.
Tak sekalipun Dini dan kakak-kakaknya merasakan kehangatan sebagai seorang cucu
si pemilik rumah.
Tiga hari telah berlalu, kami meninggalkan Ponorogo
tanpa menyesal. Ayah memutuskan untuk singgah sebentar di Surakarta. Disana
kami tiba sore hari untuk berkunjung ke rumah Mbah Patih atau Mbah Lik, dankeesokan
harinya kami harus sudah melanjutkan perjalanan pulang ke Semarang. Begitu
kembali ke rumah, kuperhatikan kesibukan yang tidak semestinya mengambil
peranan di segala penjuru. Ibu lebih banyak menyibukkan diri untuk menyimpan
makan kering untuk disimpan di loteng. Setiap malam para tetangga juga
berdatangan ke rumah untuk mendengarkan siara radio langsung dari Australia.
Dengar-dengar akan terjadi perang. Saat liburan puasa Dini dan Maryam kembali
mengunjungi kakek di desa. Mereka mengahbiskan waktu liburan lebaran disana. Beberapa
hari sebelum Lebaran, orang tua dan kakak-kakak Dini yang lain menyusul ke
rumah kakek.
Dini mulai bersekolah dan semuakakakku
sekolah di HIS. Di HIS semua murid harus berbahasa Belanda. Tapi ayah selalu mewajibkan
kami berbahasa Jawa.Suatu hari ketika Dini asyik bermain dengan teman-teman mendadak terdengar
suara-suara letusan, diiringi raungan sirene tanda bahaya.Maryam memaksa pulang
karena kami akan mengungsi ke kampung Batan. Sejak waktu itu siang maupun malam hari sering kali
ada serangan. Semua kantor dan sekolah ditutup. Kendaraan umum tidak
diperbolehkan untuk hilir mudik. Karena ibu tidak mau
mengungsi, ayah membuat lubang perlindungan di bawah pohon mangga. Untuk
penutupnya digunakan ranting-ranting dan daun. Kesukaran bahan makanan mulai terasa. Seisi kampung
mulai khawatir akan adanya kelaparan. Sebisa mungkin orang tua Dini membagi apa
yang dihasilkan dari kebun untuk dibagikan kepada para tetangga.
Kala itu salah satu kakakku Teguh mengatakan bahwa
Belanda sudah meninggalkan Indonesia, dan kepemimpinan beralih ke tangan
Jepang.
ANALISIS
NOVEL
Novel Sebuah Lorong di Kotaku dapat
menginspirasi pembaca dengan adanya unsur-unsur yang membangun dari dalam
maupun dari luar. Unsur yang membangun dari dalam ialah unsur intrinsik,
sedangkan unsur yang membangun dari luar ialah unsur ekstrinsik.
1.
UNSUR
INTRINSIK
Novel
Sebuah Lorong di Kotaku karya NH. Dini mengandung tema tentang kasih sayang
yang diberikan keluarga tokoh utama yaitu Dini. Kasih sayang tersebut
digambambarkan dengan perlakuan Ibu kepada Dini yang selalu tidak pernah
membiarkan Dini untuk lepas dari pengawasannya. Ibu selalu merasa khawatir
tentang apa yang dilakukan oleh Dini. Ibu selalu memantau perbuatan apa saja
yang dilakukan oleh Dini.
Dini
sebagai tokoh utama dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku digambarkan sebagai
seorang anak yang masih kecil yang tinggal bersama kedua orang tua dan keempat
kakak-kakaknya. Mereka tinggal di sebuah desa di kota Semarang. Dini adalah
anak yang baik hati dan lugu, dia selalu menuruti apa semua perkataan kedua
orangtuanya dan tak pernah membantah. Dari kecil Dini memiliki sifat yang
rendah hati dan sederhana, terlihat ketika Dini masuk sekolah, Dini tidak ingin
memakai pakain mewah dan serba baru seperti teman-temannya. Dini memiliki
pemikiran bahwa pakaian bukanlah hal utama dalam menuntut ilmu.
“Kukatakan
kepada ibuku bahwa aku tidak ingin kelihatan seperti hendak pergi ke pesta.
Semula dia tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba mengatakan hal semacam itu.
Sambil berpikir sebentar, dia mengarahkan pandangan ke sekeliling. Segera
tersenyum, menunduk dan mencium pipiku.”
(SLdK 1986: 87)
Ayah
adalah sesosok pemimpin kelurga yang baik dan bertanggung jawab. Ia begitu
menyayangi keluarga kecilnya. Ia sangat tahu bagaimana cara memanjakan kelima
anak-anaknya. Terlihat ketika Ia dengan diam-diam selalu memperbolehkan
kegiatan apa saja yang dilakukan oleh kelima anaknya itu tanpa sepengetahuan
Ibu, seperti Ayah memanjakan Teguh dengan sekali-kali main ke sungai,
membelikan buku pola sulam untuk Heratih, dan untuk Dini dan Maryam terkadang Ia
memberi kami sebuah makan seperti coklat susu, kelengkeng, dan jeruk keprok.
Kecintaan Ayah terhadap keluarganya terlihat juga ketika perang terjadi lagi
untuk kesekian kalinya. Dia selalu melakukan segala cara untuk menyelamatkan
keluarga yang sangat ia sayangi. Banyak cara yang Ayah lakukan, salah satunya membuat
lubang persembunyian di belakang rumah di bawah pohon mangga dan juga membuat
tempat perlindungan di dalam rumah dengan cara diatas meja makan yang besar
ditaruh dua sampai tiga lapis kasur dan disisi-sinya juga di ditutup dengan
kasur. Di tempat itulah Ayah membuat perlindungan untuk kami tidur
dibawahnya.
Ibu
adalah sosok seseorang yang baik hati dan begitu penyayang. Ia sangat
menyayangi keluarganya. Ia juga sosok yang selalu rendah hati terhadap
siapapun, tak pernah memandang status dan martabat. Ibu juga seorang yang
sangat menyayangi binatang. Ketika kucing kesayangan Ibu yang bernama Meo
pergi, seisi rumah harus mencarinya di penjuru kampung sampai ketemu. Banyak
orang yang menyegani Ibu karena kebaikan dan ketulusan hatinya. Ia juga selalu
menjaga perasaan orang lain.
“Ketika malam
mulai tiba, pemilik rumah menyilakan Ibu pergi ke dalam, karena hendak disuguh
makan. Tetapi dengan lemah lembut Ibu menolak. Banyak orang disini, Pak.
Apalagi kami sudah bawa makanan sendiri. Kalau saya makan ke dalam, mereka
tentulah menjadi iri.”
(SLdK
1986:93)
Penulisan dalam novel “Sebuah Lorong di Kotaku”
menggunakan alur maju. Pengarang menceritakan jalan cerita dengan urutan waktu
yang sistematis dan kronologis, dari tahap perkenalan sampai tahap penyelesaian
dan tidak diacak. Pembaca seolah-olah diajak mengikuti jalannya cerita dari
sejak Dini dilahirkan sampai beranjak menjadi kanak-kanak. Penggunaan alur maju
ini sangat memudahkan bagi pembaca karena jalan cerita difokuskan pada
cerita-cerita selanjutnya tanpa harus selalu mengulas masa lalu dan penulis dapat berhasil menciptakan daya bayan pembaca yang seolah-olah dibawa didalam cerita dan dapat
merasakan kejadian yang dirasakan
oleh tokoh utama dalam novel tersebut.
Sudut
pandang pada novel “Sebuah Lorong di Kotaku” adalah sudut pandang orang
pertama sebagai pelaku utama yaitu Aku.Pengarang seakan-akan terlibat dalam cerita dan
bertindak sebagai tokoh cerita.
“Aku menjadi
gelisah oleh ketidaksabaran. Kutunggu waktu baik untuk membangunkan Ibu. Aku
bangkit mendudukan diri. Di ujung kiri Nugroho yang ada di pinggir, tubuhnya
melengkung mengambil banyak temapt.” (SLdK
1986:57)
NH. Dini dalam menggambarakan jalan cerita “Sebuah
Lorong di Kotaku” memilih beberapa latar tempat yang digunakan untuk mendukung
jalannya cerita. Latar tempat pertama terjadi di Semarang di sebuah kota tempat
Dini dan kelurganya tinggal dan beraktivitas.
“Bersama Maryam
aku berkelanan di kebun. Di bagian belakang, karena rasa takut, masih banyak
bagian dan yang belum pernah kukunjungi dan ku kenal.”
(SLdK:
1986:99)
Latar tempat yang kedua yaitu terjadi di belakang
rumah. Tepat di belakang rumah semua karunia Tuhan seperti telah tersedia,
karena halaman yang luas tersebut dapat menghasilkan berbagai macam tanaman dan
pepohonan yang dapat menghasilkan buah-buahan, serta ketika banjir tiba,
belakang rumah dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyerok ikan dan hasil dari
menyerok ikan pasti selalu berlimpah.
“Hasil pertama tidak
begitu memuaskan. Hanya dua ikan berukuran sedang dan beberpa ekor kecil-kecil.
Kedua kalinya, ayahku turut menggiring ikan-ikan yang berenang di bawah
permukaan air itu kea rah perangkap. Barangkali karena itulah ketika diserok,
ada lebih dari sepuluh ikan lele yang cukup besar dan beberapa ikan khutuk,
berturut-turut demikian. Selalu ikan besar bercampur dengan ikan kecil.”
(SLdK 1986:27-28)
Latar
tempat ketiga yaitu terjadi di Tgalrejo tempat kakek dan nenek dari Ayahku.
Disana kami belajar banyak hal karena kakek adalah seorang Kyai yang mashur dan
terkenal. Banyak pelajaran agama dan pelajaran hidup yang di dapat dari sana.
Kakek selalu mengajari kami tentang agama.
“Kakek melihat bahwa
diatas meja tersedia segala macam rangsangan. Tetapi dia berpendapat bahwa
sanggup dan berani menolak rangsangan itu telah berarti memiliki kekuatan. Dari
sanalah manusia dapat mengukur kekuatannya sendiri untuk menahan napsu.”
(SLdK 1986:55-56)
NH.
Dini dalam novel “Sebuah Lorong di Kotaku” mengambil latar waktu pagi hari,
siang hari (lohor), sore waktu asyar, malam hari, dua hari, dan tiga hari. Pada
novel tersebut penulis memilih suasana yang penuh dengan keakraban ketika
mereka semua duduk dan berbincang-bincang dan suasana khitmat ketika mereka
semua terdiam dan santun saat menikmati hidangan makanan, karena menurut Ibu
bahwa makanan adalah karunia dari Tuhan dan itu harus dihormati.
Novel
“Sebuah Lorong di Kotaku” termasuk kategori gaya bahasa langsung. Pengarang
menceritakan sendiri semua peristiwa-peristiwa yang terjadi baik pada dirinya
sendiri maupun orang lain disekitarnya.Gaya bahasa yang
dipakai dalam penulisan
novel tersebut menggunakan majas personifikasi. Majas
personifikasi terlihat pada kutipan berikut:
“Matahari
sudah mulai mengirim sinarnya, lembut menyemburat memberi tanda kepada
bintang-bintang agar mengundurkan diri dan beristirahat.”
(SLdK
1986:33)
Amanat yang disampaikan penulis kepada pembacapada
novel “Sebuah Lorong di Kotaku”adalah tentang mensyukuri sebuah nikmat dan
karunia Tuhan. Mengajarkan untuk hidup sederhana dan taat pada aturan yang
berlaku. Penulis juga menyisipkan amanat tentang kepedulian sesama saling
tengang rasa dan tolong menolong.
2.
UNSUR EKSTRINSIK
Unsur
pembangun sebuah karya sastra atau novel bukan hanya unsur intrinsik, tetapi
ada unsur ekstrinsik yang ikut membangun. Unsur ekstrinsik karya sastra adalah
unsur-unsur karya sastra yang berada diluar karya sastra tersebut. Akan tetapi,
secara tidak langsung unsur ekstrinsik mempengaruhi proses pembuatan sebuah
karya sastra.
Unsur
ekstrinsik pembangun novel Sebuah
Lorong di Kotaku salah satunya adalah latar belakang
pengarang. Nh. Dini sebagi penulis novel Sebuah Lorong di Kotaku memiliki nama asli Nurhayati
Sri Hardini Siti Nukatin atau lebih dikenal dengan nama N.H. Dini. Lahir di
Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936; umur 80 tahun. N.H. Dini adalah
sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia. Setamat SMA bagian sastra tahun 1936,
beliau mengikuti Kursus Pramugari Daraat GIA Jakarta tahun 1956, dan terakhir
mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarahpada tahun 1957. Tahun 1957 sampai tahun 1960 beliau bekerja di GIA Kemayoran
Jakarta. Nh. Dini menikah
dengan Yves
Coffin, seorang Konsul Prancis di Kobe, Jepang pada tahun 1960. Dari
pernikahannya beliau dikaruniai dua orang anak. Setelah menikah Nh.Dini
berturut-turut bermukim secara berpindah-pindah di Jepang, Kamboja, Filipina,
Prancis, Amerika Serikat sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat.
Sejak tahun 1980, Nh. Dini menetap kembali di Semarang Indonesia.
Karyanya : Dua Dunia (1965), hati yang Damai
(1961), La Barka (1977), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatran (1977), Sebuah
Lorong di Kotaku (1987), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan
Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari seberang
(1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), dan
Orang-orang Tran (1985). Trejemahannya : sampar (karya Albert Camus, La Peste;
1985).
Sejarah hidup N.H. Dini dilahirkan dari pasangan
Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya
dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih
berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar,
“Nah, darah Bugisnya muncul". N.H. Dini mengaku mulai tertarik menulis
sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan
ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu
semacam pelampiasan hati.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam novel “Sebuah
Lorong di Kotaku” juga merupakan bagian dari unsur
ekstrinsik. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini antara lain nilai moral, nilai
sosial, nilai religius,
dan nilai kebudayaan. Nilai moral terlihat ketikasaat makan tidak diperbolehkan
untuk banyak berbicara. Makanan adalah karunia Tuhan dan harus dihormati. Saat
makan, makanan harus dikunyah tanpa ada suara dan mulut tertutup. Jika makan
dengan garpu dan sendok, harus dijaga jangan sampai bersentuhan atau bersuara.
Nilai sosial terlihat ketikan kesukaran bahan makanan semakin terasa. Para
warga kampung mulai khawatir akan adanya kelapara. Sebisa mungkin, Ibu dan Ayah
Dini membagi apa yang dihasilkan dari kebun untuk dibagikan kepada
tetangga-tetangga terdekat. Nilai Religius terlihat ketika kakek mengajarkan
pada kita tentang agama bahwa kita dapat berbicara kepada Tuhan dalam bahasa
apa pun juga. Mengaji itu hanya agar orang dapat membaca tulisan dan bahasa
Arab, karena agama islam lahirnya di negeri Arab, karena Nabi Muhammad menerima doa-doa dalam bahasa Arab. Lagi pula
bahasa arab itu indah didengar. Seperti nyanyian, seperti tembang kita. Jadi
ada baiknya dipelajari. Nilai kebudayaan terlihat ketika istilah pamit sangat
ditentang. Menurut kepercayaan, seseorang penjual tidak boleh mengucapkan kata
kata pamit agar tidak menghalangi lakunya dagangannya.
3.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN NOVEL
Sebuah
karya sastra tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari novel Sebuah Lorong di Kotaku novel tersebut yaitu Penulis mampu membangun
imajinasi pembaca melalui penggambaran
keadaan tokoh yang seolah-olah terjadi di kehidupan nyata. Selain itu
pembaca dapat mengambil beberapa pelajaran berharga tentang betapa pentingnya kasih sayang dan kehangatan keluarga. Dari
penggambaran tokoh Dini sendiri
mengajarkan kita agar selalu
hidup dalam kesederhanaan dan keramahtamahan.
Kekurangan
yang terdapat didalam novel yaitu bahasa yang digunakan sedikit sulit untuk dipahami, karena ada beberapa kata-kata yang menggunakan bahasa
Jawa. Penulis kurang menggambarka tokoh-tokoh lain seperti penggambaran
kakak-kakak Dini, Pak De dan Bu De. Cover juga kurang
menarik dan terkesan monoton, serta judul buku dan isi buka masih belum
tergambar jelas keterkaitan antara keduanya.
4.
TINGKATAN PENGALAMAN JIWA PENGARANG
Tingkat
pengalaman jiwa Nh. Dini dalam novel Jalan Bandungan tersebut sudah mencapai
tataran ke-lima yaitu tataran religius. Penulis sudah mampu merangkai cerita
demi cerita mulai dari tataran anorganis, tataran vegetatif, tataran animal,
tataran humanistik, hingga sampai pada tataran religius.
Tingkat
pengalaman jiwa pada tataran anorganis terlihat dari penulis mampu menuangkan
ide serta gagasannya dalam bentuk kalimat demi kalimat yang mampu memunculkan
daya bayang pembaca disertai dengan pemilihan diksi yang menarik dan tidak terlalu
sulit untuk dipahami. Pengarang juga mampu membuat pembaca seolah-olah
merasakan apa yang tokoh dalam novel rasakan.
Tingkat
pengalaman jiwa pada tataran vegetatif novel tersebut terlihat ketika suasana
dalam novel ini sudah terbayang oleh pembaca. Pembaca dapat merasakan kehidupan tokoh dari lahir sampai kanak-kanak dan
bersekolah. Penulis sudah menggambarakan kehidupan suka duka tokoh utama.
Tingkat pengalaman jiwa pada
tataran animal terlihat dari
hasrat ingin menyerok ikan. Dimana Dini memiliki keinginan yang besar agar
turut menyerok ikan di belakang rumah. Tataran animal tidak terlalu tergambar
jelas dalam novel tersebut.
Tingkat
pengalaman jiwa pada tataran humanis dapat dirasakan dari rasa tolong menolong
keluarga Dini dengan para warga.
Dimana saat perang terjadi lagi kekhawatiran kekurangan bahan makanan menjadi
kenyataan, dan orang tua Dini menolong warga setempat dengan membagikan hasil
kebun kepada tetangga terdekat.
Tingkat
pengalaman jiwa pada tataran religius atau filosofi dalam novel tersebut dapat dilihat dari kakek Dini yang selalu mengajarkan tentang agama.
Kakek Dini mengajarkan tentang berpuasa, berdoa kepada Tuhan dengan bahasa
apapun tidak hanya dengan bahasa Arab saja. Dalam novel tersebut
jelas sudah digambarkan adanya renungan-renungan vertikal hubungan antara
manusia dengan Tuhan.
Banyak sekali hal dan kegiatan yang selalu dilakukan kakek untuk berkomunikasi
dengn Tuhan, entah itu denan merenung di sebuah bilik, berpuasa, dan sembayang.
Ada juga sejarah tentang kampung yang dilindungi oleh wali-wali pembangun mesjid Demak. Karena menurut cerita, di
kampung itulah para wali menyimpan kayu-kayu yang didatangkan dari gunung
melalui Sungai Semarang di belakang rumah. Di tempat penimbunan kayu itu para
wali mendirikan langgar sebagai tempat pesanggrahan.
Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan, terlihat jika novel Sebuah Lorong di Kotakumempunyai pengalaman jiwa
yang luas dan kuat, walaupun tingkatan ketiga yaitu tingkatan animal belum tergambar begitu
jelas dalam cerita, namun penulis berhasil menggambarkan setiap
peristiwa dalam novel secara kronologis dan sistematis. Runtut dari penggarabaran awal perkenalan hingga
tahap akhir penyelesaian.
0 komentar:
Posting Komentar