Tak Pernah Ada Malam yang Sehangat Ini
Bulan
ini kami sekeluarga pindah ke suatu daerah di kota Magelang. Tentunya tak perlu
kusebutkan di mana. Saat itu cerita tentang monster besar mengerikan yang ada
di dalam lemari atau sejenisnya masih menghiasi masa kecilku. Terlebih ketika
aku pidah ke daerah yang cukup sepi dan belakang rumah kami adalah hutan yang
menurutku sangat menyeramkan.
Sempat
aku terpengaruh olehnya, tapi Ibuku selalu berkata kalau monster hanya cerita
untuk menakuti anak-anak nakal. Jadi sejak saat itu aku tak pernah lagi takut
dengan hanl seperti itu.
Sampai
akhirnya teori itu terpatahkan oleh sesuatu yang kemudian datang ke samping
tempat tidurku.
Aku
sedang berada di kamar sendirian tanpa penerangan. Ya, sebelumnya aku memang
bukan sosok penakut, aku justru sangat menyukai hal ini. Tapi entah kenapa hal
ini justru membuatku tidak nyaman. Aku memperhatikan jam weker yang terletak
tepat di meja sebelah kanan ranjangku, saat itu menunjukkan pukul 01.00 dini
hari.
Aku
merasa ada yang mengelus punggungku. Aku memang sebelumnya merasa ada yang
aneh, tapi lama kelamaan aku merasa nyaman.
Tak
lama aku merasa ada yang janggal. Pintu kamarku terbuka dengan sendirinya! Aku
memang tidak berpikir macam-macam kala itu. Justru aku berpikir kalau Ibukulah
yang sedari tadi mengelus punggungku.
“Kreekk…kreekk…”
Itulah
suara decitan pintu yang ku dengar. “Ibu, kalau kau sudah selesai tolong tutup
pintunya…”. Tak ada jawaban darinya, namun kurasa ia mendengarku, karena aku
mendengar suara pintu tertutup.
Keesokan
harinya Ibuku masuk ke dalam kamarku dan memberiku pertanyaan yang terdengar
janggal.
“Sayang,
aku tahu kau menyanyangi Ibumu ini, tapi kau tak usah repot-repot masuk ke
kamar Ibu malam-malam dan mengelus punggung Ibu,” ucapnya sambil mencoba
menyingkirkan rambut panjangku yang menutupi wajah.
Aku
tak mengerti apa maksud dari pertanyaan Ibu. Aku hanya diam sambil memejamkan
mata dan memikirkan sesuatu. Mungkin Ibu berniat untuk menakutiku karena kemarin
aku sudah menjahili Dika, adik laki-lakiku. Jadi aku pura-pura tidak ahu soal
itu.
“Maksud
Ibu apa? Aku tidak melakukannya?” jawabku sambil tetap memejamkan mata dan
membenarkan posisi tidurku.
Aku
bisa melihat Ibu tampak masih memikirkan jawabanku, tapi itu tidak berlangsung
lama. Dia beranjak ke arah jendela dan membuka lebar-lebar gorden abu-abu yang membuat
sinar matahari masuk ke kamarku.
“Sudah
jangan malas-malasan, cepat bangun. Ibu sudah menyiapkan sarapan,” Ibu kemudian
langsung pergi dari kamarku dan sepertinya dia kembali ke dapur.
Mau
tak mau aku beranjak dari tempat tidurku yang entah kenapa gravitasinya
bertambah tinggi saat pagi hari. Ingin rasanya aku kembali tidur dan bermimpi.
Tapi Ibu pasti akan menarik selimutku dan menarikku ke kamar mandi dan bersiap
untuk kuliah.
Kau
sudah mendengarkan ceritaku sampai
sejauh ini tapi aku belum memperkenalkan diriku. Perkenalkan, namaku Lusi, aku
tinggal di rumah baruku ini bersama Ibu dan adik laki-lakiku, Dika. Ayahku
sudah lama meninggalkan kita, jadi kalian jangan heran jika aku sedikit berbeda
dengan anak perempuan lain. Ya aku akui aku sedikit nakal dan kadang membantah
perintah Ibu, tapi itu hanyalah sebagai bentuk protesku kenapa Ayah
meninggalkanku saat aku membutuhkan sosok ayah?
Aku
dan adikku bagaikan buaya dan kerbau. Kau pasti sudah menduga kan siapa yang ku
ibaratan sebagai buaya. Hampir setiap hari aku menjahili adikku dan berakhir
dengan omelan dari Ibu. Entah kenapa aku menikmati setiap omelan dari Ibu, jadi
aku melakukannya setiap hari (mengganggu Dika). Sejujurnya aku sangat menyayang
adik dan Ibuku. Kau pikir aku sudah gila aku sudah tidak peduli dengan mereka
berdua. Tapi hanya dengan menganggu adikku lah aku bisa mendapat perhatian dari
Ibu (yang seharusnya diberikan oleh Ayah).
Baik.
Kembali ke cerita sebelumnya. Selesai mandi aku langsung menuju dapur. Adikku
tengah menikmati roti isi selai kacang favoritnya sambil membuka buku
pelajarannya. Oh ayolah, Dik, aku yakin aktivitas makanmu tidak akan nikmat
jika kau masih memikirkan pelajaran.
“Kenapa
kau menatapku?” Dika menatapku dengan tajam. “Apa kau mencoba membunuhku dengan
tatapanmu itu?” Ucapku sambil mengoleskan Nuttela. Dika tak menghiraukan
perkataanku. Dia kembali menikmati roti isi sambil terus membaca buku
pelajarannya.
Tak
lama kemudian bis sekolah sudah membunyikan klaksonnya. Itu tandanya adik
kecilku ini harus segera berangkat sekolah. Dia memasukkan buku tadi ke dalam
tasnya kemudian berpamitan pada Ibu. Sebelum berpamitan denganku, dia mengolesi
tanganku dengan selai kacang kemudian dia berlari keluar.
“Hei!
Kau tahu kan aku benci selai kacang!” teriakku sambil mengambil tissue. “Haha
semoga harimu menyenangkan, Kak.” Ucap Dika sambil berlari keluar.
Di
dapur hanya tersisa aku dan Ibu. Setelah mencuci piring Ibu duduk di sebelahku
dan mengambil roti kemudian mengolesinya dengan selai kacang.
“Bu,
bolehkah aku bertanya sesuatu?” Ibu hanya menatapku sekilas kemudian
mengangguk. “Kenapa kita pindah ke rumah ini? Bukankah rumah di Bogor sudah
nyaman?” tanpa menatapku Ibu menjawab. “Apa kau lupa, kau lahir disini, jadi anggap
saja ini pulang kampung,” terdengar tidak masuk akal memang, tapi aku hanya
mengangguk.
---
Seperti
biasa sebelum tidur aku mengecek jadwal kuliah esok hari. Kulihat semuanya
sudah beres, tugas sudah aku kerjakan semua. Aku bersiap untuk tidur. Tapi
tunggu. Aku masih ingat semalam ada seseorang yang mengelus punggungku dan
punggung Ibu juga. Aahh tapi itu kemarin, lebih baik aku segera tidur karena
besok masih ada hari yang harus aku jalani.
Tetapi
lagi-lagi aku merasakan hal yang sama seperti malam sebelumnya. “Ibu, ayolah…
ini tidak lucu, jangan menakutiku lagi. Aku kan sudah tidak mengganggu Dika
hari ini. Jadi tolong hentikan!” Lagi-lagi tak ada jawaban. Ia lalu pergi
meninggalkanku dan kembali menutup pintu kamar ini.
Dan
lagi-lagi Ibuku menanyakan hal yang sama keesokan harinya. Bahkan bisa
kukatakan wajah Ibu berubah menjadi lebih serius. Aku mendengus sebal.
“Bukankah semalam Ibu yang mengelus punggungku? Ayolah Bu, aku tidak menjahili
siapapun. Kenapa Ibu masih saja menakutiku?” Kulihat ekspresinya berubah
menjadi ketakutan lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Setelah
melihat Ibu sudah tak ada di kamar, aku bergegas untuk mandi. Hari ini airnya
terasa lebih dingin dari sebelumnya. Selesai mandi dan berdandan aku mengambil
tas yang ada di sudut kamar. Tunggu. Bukankan semalam aku meletakkannya di
kursi belajar? Saat mengambil tas, aku melihat sebuah foto lama. Hei! Itu kan
wajahku dan Ibu dan siapa sosok laki-laki ini? Oh iya, ini ayahku. Tapi kenapa
ada foto keluargaku disini? Aku menaruh foto itu di meja belajar kemudian
beranjak ke ruang makan.
Aku
tak melihat adikku di ruang makan, atau dimanapun. Ibu tengah mengambilkan
sepiring nasi goreng ke piringku (asal kau tahu, nasi goreng adalah makanan
favoritku). “Nanti sore kamu pulang jam berapa?” Tanya Ibu sambil memberikan
sepiring nasi goreng padaku. “Nggak sore kok Bu, jam 13.00 aku juga sudah
pulang, nanti hanya ada satu pertemuan,” Ibu menelan nasi goreng yang memenuhi
mulutnya sebelum menanggapi perkataanku. “Kalau begitu nanti langsung pulang,
nanti sore kita nyekar ke makam Ayah,” aku hanya mengangguk karna nasi goreng
masih memenuhi mulutku.
---
Sepulang
nyekar aku menemukan sebuah buku catatan kecil di sudut kamar. Seingatku aku
tidak pernah mempunyai buku apapun kecuali buku-buku untuk kuliah. “Buku siapa
ini,” gumamku. Aku membuka satu persatu halaman yang ada pada buku itu, tapi
aku enggan membacanya, karna aku tidak mau mengetahui urusan orang lain.
“Bu
ini buku siapa?” ucapku saat melihat Ibu melewati depan kamarku. Merasa
penasaran, Ibu masuk dan memandangi buku kecil yang ada di tanganku. Dilihat
dari tatapannya sepertinya Ibu mengenali buku ini.
“Ini
buku Ayahmu, kau temukan dimana benda ini?” aku menunjuk ke sudut kamar. “Sini
biar Ibu simpan.”
---
Aku
masih ingat kejadian semalam di kamarku, jadi aku sengaja untuk tidak tidur
awal. Aku ingin tahu sebenarnya siapa yang selama ini mengelus punggungku. Aku
terkejut ketika mendapati tak ada siapa-siapa di belakangku. Dan saat aku
membalik badan aku melihat ke arah dinding. Sesosok bayangan hitam besar tengah
berdiri di belakangku. Aku segera menutupi wajahku dengan selimut sambil
berharap sosok itu menghilang.
Setelah
beberapa menit kemudian aku memberanikan diri untuk membuka selimut yang sedari
tadi melindungiku. Bayangan hitam itu sudah tidak ada. Ada sesuatu yang
berkilauan di sudut kamar. Karna tak berani untuk turun dari ranjang, aku
menyinari sudut kamar dengan senter ponselku. Sebuah jam tergeletak di sana.
Seingatku aku tidak punya jam seperti itu, lagi pula jam itu kelihatan tua.
Karna rasa kantuk yang sudah sempurna menguasaiku, aku memutuskan untuk tidur
dan mengurusi jam tangan itu esok hari.
Keesokan
paginya aku terbangun dan menemukan Ibuku duduk di samping ranjang sambil
bertanya hal yang sama. Kali ini Ibu sudah mulai kesal dengan tingkahku yang
terbilang konyol.
“Ibu,
itu bukan aku! Itu ulah monster besar yang juga menjahiliku. Aku melihatnya Bu,
sungguh…”
“Kau
sudah besar, Lusi. Monster itu hanya cerita konyol untuk menakuti anak nakal.”
Ucap Ibu sambil meninggalkan kamarku.
Aku
teringat kejadian semalam, saat aku melihat sosok bayangan hitam dan jam tangan
di sudut kamar. Apa jam itu masih disana? Iya. Aku masih melihat jam tangan
itu. Tanpa berpikir panjang aku mengambilnya.
“Sepertinya
aku pernah melihat jam ini, tapi dimana?” aku mencoba memakai seluruh bagian
otakku untuk berpikir. Aku memang pernah melihat jam tangan yang sama persis
seperti ini tapi aku lupa dimana aku melihatnya. Tapi tunggu dulu. Aku teringat
sesuatu. Aku langsung mencari foto keluarga saat aku masih kecil yang aku
temukan kemarin di sudut kamar. Syukurlah foto itu masih aku simpan.
Hal
yang membuatku kaget adalah jam yang aku pegang saat ini sangat mirip dengan
jam yang dipakai Ayah di foto.
“Apa
maksudnya ini? Apa jam ini bisa keluar dari foto?” Oh ayolah itu adalah hal
yang paling bodoh yang pernah aku pikirkan. “Tapi mana bisa benda yang ada di
foto bisa keluar?”. Aku memerintah semua bagian otakku untuk kembali berpikir.
Atau
jangan-jangan ini Ayah? Jangan-jangan yang selama ini mengelus punggungku itu
Ayah? Dan bayangan yang kulihat tadi malam itu Ayah? Tanpa disadari aku
meneteskan air mata. Rasa rindu pada Ayah yang selama ini aku pendam tiba-tiba
muncul kembali.
“Ayah,
atau siapapun itu yang selalu mendatangiku setiap malam. Teruslah seperti ini,
aku tidak keberatan, apalagi jika kau memang benar-benar Ayah. Datanglah setiap
malam. Kau tahu, aku sangat merindukanmu.” Entah kenapa aku bisa-bisanya
mengucapkan kata-kata seperti itu. Bagaimana jika sosok itu bukan Ayah
melainkan hantu atau makhluk sejenisnya? Tapi sudahlah, sejujurnya aku juga
merasa sangat nyaman saat sosok itu mengelus punggungku. Rasanya seperti
pelukan Ayah yang sudah lama tidak aku rasakan.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar