20171031

CERPEN

Tak Pernah Ada Malam yang Sehangat Ini


Bulan ini kami sekeluarga pindah ke suatu daerah di kota Magelang. Tentunya tak perlu kusebutkan di mana. Saat itu cerita tentang monster besar mengerikan yang ada di dalam lemari atau sejenisnya masih menghiasi masa kecilku. Terlebih ketika aku pidah ke daerah yang cukup sepi dan belakang rumah kami adalah hutan yang menurutku sangat menyeramkan.
Sempat aku terpengaruh olehnya, tapi Ibuku selalu berkata kalau monster hanya cerita untuk menakuti anak-anak nakal. Jadi sejak saat itu aku tak pernah lagi takut dengan hanl seperti itu.
Sampai akhirnya teori itu terpatahkan oleh sesuatu yang kemudian datang ke samping tempat tidurku.
Aku sedang berada di kamar sendirian tanpa penerangan. Ya, sebelumnya aku memang bukan sosok penakut, aku justru sangat menyukai hal ini. Tapi entah kenapa hal ini justru membuatku tidak nyaman. Aku memperhatikan jam weker yang terletak tepat di meja sebelah kanan ranjangku, saat itu menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Aku merasa ada yang mengelus punggungku. Aku memang sebelumnya merasa ada yang aneh, tapi lama kelamaan aku merasa nyaman.


Tak lama aku merasa ada yang janggal. Pintu kamarku terbuka dengan sendirinya! Aku memang tidak berpikir macam-macam kala itu. Justru aku berpikir kalau Ibukulah yang sedari tadi mengelus punggungku.
“Kreekk…kreekk…”
Itulah suara decitan pintu yang ku dengar. “Ibu, kalau kau sudah selesai tolong tutup pintunya…”. Tak ada jawaban darinya, namun kurasa ia mendengarku, karena aku mendengar suara pintu tertutup.
Keesokan harinya Ibuku masuk ke dalam kamarku dan memberiku pertanyaan yang terdengar janggal.
“Sayang, aku tahu kau menyanyangi Ibumu ini, tapi kau tak usah repot-repot masuk ke kamar Ibu malam-malam dan mengelus punggung Ibu,” ucapnya sambil mencoba menyingkirkan rambut panjangku yang menutupi wajah.
Aku tak mengerti apa maksud dari pertanyaan Ibu. Aku hanya diam sambil memejamkan mata dan memikirkan sesuatu. Mungkin Ibu berniat untuk menakutiku karena kemarin aku sudah menjahili Dika, adik laki-lakiku. Jadi aku pura-pura tidak ahu soal itu.
“Maksud Ibu apa? Aku tidak melakukannya?” jawabku sambil tetap memejamkan mata dan membenarkan posisi tidurku.
Aku bisa melihat Ibu tampak masih memikirkan jawabanku, tapi itu tidak berlangsung lama. Dia beranjak ke arah jendela dan membuka lebar-lebar gorden abu-abu yang membuat sinar matahari masuk ke kamarku.
“Sudah jangan malas-malasan, cepat bangun. Ibu sudah menyiapkan sarapan,” Ibu kemudian langsung pergi dari kamarku dan sepertinya dia kembali ke dapur.
Mau tak mau aku beranjak dari tempat tidurku yang entah kenapa gravitasinya bertambah tinggi saat pagi hari. Ingin rasanya aku kembali tidur dan bermimpi. Tapi Ibu pasti akan menarik selimutku dan menarikku ke kamar mandi dan bersiap untuk kuliah.
Kau sudah mendengarkan  ceritaku sampai sejauh ini tapi aku belum memperkenalkan diriku. Perkenalkan, namaku Lusi, aku tinggal di rumah baruku ini bersama Ibu dan adik laki-lakiku, Dika. Ayahku sudah lama meninggalkan kita, jadi kalian jangan heran jika aku sedikit berbeda dengan anak perempuan lain. Ya aku akui aku sedikit nakal dan kadang membantah perintah Ibu, tapi itu hanyalah sebagai bentuk protesku kenapa Ayah meninggalkanku saat aku membutuhkan sosok ayah?
Aku dan adikku bagaikan buaya dan kerbau. Kau pasti sudah menduga kan siapa yang ku ibaratan sebagai buaya. Hampir setiap hari aku menjahili adikku dan berakhir dengan omelan dari Ibu. Entah kenapa aku menikmati setiap omelan dari Ibu, jadi aku melakukannya setiap hari (mengganggu Dika). Sejujurnya aku sangat menyayang adik dan Ibuku. Kau pikir aku sudah gila aku sudah tidak peduli dengan mereka berdua. Tapi hanya dengan menganggu adikku lah aku bisa mendapat perhatian dari Ibu (yang seharusnya diberikan oleh Ayah).
Baik. Kembali ke cerita sebelumnya. Selesai mandi aku langsung menuju dapur. Adikku tengah menikmati roti isi selai kacang favoritnya sambil membuka buku pelajarannya. Oh ayolah, Dik, aku yakin aktivitas makanmu tidak akan nikmat jika kau masih memikirkan pelajaran.
“Kenapa kau menatapku?” Dika menatapku dengan tajam. “Apa kau mencoba membunuhku dengan tatapanmu itu?” Ucapku sambil mengoleskan Nuttela. Dika tak menghiraukan perkataanku. Dia kembali menikmati roti isi sambil terus membaca buku pelajarannya.
Tak lama kemudian bis sekolah sudah membunyikan klaksonnya. Itu tandanya adik kecilku ini harus segera berangkat sekolah. Dia memasukkan buku tadi ke dalam tasnya kemudian berpamitan pada Ibu. Sebelum berpamitan denganku, dia mengolesi tanganku dengan selai kacang kemudian dia berlari keluar.
“Hei! Kau tahu kan aku benci selai kacang!” teriakku sambil mengambil tissue. “Haha semoga harimu menyenangkan, Kak.” Ucap Dika sambil berlari keluar.
Di dapur hanya tersisa aku dan Ibu. Setelah mencuci piring Ibu duduk di sebelahku dan mengambil roti kemudian mengolesinya dengan selai kacang.
“Bu, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Ibu hanya menatapku sekilas kemudian mengangguk. “Kenapa kita pindah ke rumah ini? Bukankah rumah di Bogor sudah nyaman?” tanpa menatapku Ibu menjawab. “Apa kau lupa, kau lahir disini, jadi anggap saja ini pulang kampung,” terdengar tidak masuk akal memang, tapi aku hanya mengangguk.
---
Seperti biasa sebelum tidur aku mengecek jadwal kuliah esok hari. Kulihat semuanya sudah beres, tugas sudah aku kerjakan semua. Aku bersiap untuk tidur. Tapi tunggu. Aku masih ingat semalam ada seseorang yang mengelus punggungku dan punggung Ibu juga. Aahh tapi itu kemarin, lebih baik aku segera tidur karena besok masih ada hari yang harus aku jalani.
Tetapi lagi-lagi aku merasakan hal yang sama seperti malam sebelumnya. “Ibu, ayolah… ini tidak lucu, jangan menakutiku lagi. Aku kan sudah tidak mengganggu Dika hari ini. Jadi tolong hentikan!” Lagi-lagi tak ada jawaban. Ia lalu pergi meninggalkanku dan kembali menutup pintu kamar ini.
Dan lagi-lagi Ibuku menanyakan hal yang sama keesokan harinya. Bahkan bisa kukatakan wajah Ibu berubah menjadi lebih serius. Aku mendengus sebal. “Bukankah semalam Ibu yang mengelus punggungku? Ayolah Bu, aku tidak menjahili siapapun. Kenapa Ibu masih saja menakutiku?” Kulihat ekspresinya berubah menjadi ketakutan lalu pergi meninggalkanku sendiri.
Setelah melihat Ibu sudah tak ada di kamar, aku bergegas untuk mandi. Hari ini airnya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Selesai mandi dan berdandan aku mengambil tas yang ada di sudut kamar. Tunggu. Bukankan semalam aku meletakkannya di kursi belajar? Saat mengambil tas, aku melihat sebuah foto lama. Hei! Itu kan wajahku dan Ibu dan siapa sosok laki-laki ini? Oh iya, ini ayahku. Tapi kenapa ada foto keluargaku disini? Aku menaruh foto itu di meja belajar kemudian beranjak ke ruang makan.
Aku tak melihat adikku di ruang makan, atau dimanapun. Ibu tengah mengambilkan sepiring nasi goreng ke piringku (asal kau tahu, nasi goreng adalah makanan favoritku). “Nanti sore kamu pulang jam berapa?” Tanya Ibu sambil memberikan sepiring nasi goreng padaku. “Nggak sore kok Bu, jam 13.00 aku juga sudah pulang, nanti hanya ada satu pertemuan,” Ibu menelan nasi goreng yang memenuhi mulutnya sebelum menanggapi perkataanku. “Kalau begitu nanti langsung pulang, nanti sore kita nyekar ke makam Ayah,” aku hanya mengangguk karna nasi goreng masih memenuhi mulutku.
---
Sepulang nyekar aku menemukan sebuah buku catatan kecil di sudut kamar. Seingatku aku tidak pernah mempunyai buku apapun kecuali buku-buku untuk kuliah. “Buku siapa ini,” gumamku. Aku membuka satu persatu halaman yang ada pada buku itu, tapi aku enggan membacanya, karna aku tidak mau mengetahui urusan orang lain.
“Bu ini buku siapa?” ucapku saat melihat Ibu melewati depan kamarku. Merasa penasaran, Ibu masuk dan memandangi buku kecil yang ada di tanganku. Dilihat dari tatapannya sepertinya Ibu mengenali buku ini.
“Ini buku Ayahmu, kau temukan dimana benda ini?” aku menunjuk ke sudut kamar. “Sini biar Ibu simpan.”
---
Aku masih ingat kejadian semalam di kamarku, jadi aku sengaja untuk tidak tidur awal. Aku ingin tahu sebenarnya siapa yang selama ini mengelus punggungku. Aku terkejut ketika mendapati tak ada siapa-siapa di belakangku. Dan saat aku membalik badan aku melihat ke arah dinding. Sesosok bayangan hitam besar tengah berdiri di belakangku. Aku segera menutupi wajahku dengan selimut sambil berharap sosok itu menghilang.
Setelah beberapa menit kemudian aku memberanikan diri untuk membuka selimut yang sedari tadi melindungiku. Bayangan hitam itu sudah tidak ada. Ada sesuatu yang berkilauan di sudut kamar. Karna tak berani untuk turun dari ranjang, aku menyinari sudut kamar dengan senter ponselku. Sebuah jam tergeletak di sana. Seingatku aku tidak punya jam seperti itu, lagi pula jam itu kelihatan tua. Karna rasa kantuk yang sudah sempurna menguasaiku, aku memutuskan untuk tidur dan mengurusi jam tangan itu esok hari.
Keesokan paginya aku terbangun dan menemukan Ibuku duduk di samping ranjang sambil bertanya hal yang sama. Kali ini Ibu sudah mulai kesal dengan tingkahku yang terbilang konyol.
“Ibu, itu bukan aku! Itu ulah monster besar yang juga menjahiliku. Aku melihatnya Bu, sungguh…”
“Kau sudah besar, Lusi. Monster itu hanya cerita konyol untuk menakuti anak nakal.” Ucap Ibu sambil meninggalkan kamarku.
Aku teringat kejadian semalam, saat aku melihat sosok bayangan hitam dan jam tangan di sudut kamar. Apa jam itu masih disana? Iya. Aku masih melihat jam tangan itu. Tanpa berpikir panjang aku mengambilnya.
“Sepertinya aku pernah melihat jam ini, tapi dimana?” aku mencoba memakai seluruh bagian otakku untuk berpikir. Aku memang pernah melihat jam tangan yang sama persis seperti ini tapi aku lupa dimana aku melihatnya. Tapi tunggu dulu. Aku teringat sesuatu. Aku langsung mencari foto keluarga saat aku masih kecil yang aku temukan kemarin di sudut kamar. Syukurlah foto itu masih aku simpan.
Hal yang membuatku kaget adalah jam yang aku pegang saat ini sangat mirip dengan jam yang dipakai Ayah di foto.
“Apa maksudnya ini? Apa jam ini bisa keluar dari foto?” Oh ayolah itu adalah hal yang paling bodoh yang pernah aku pikirkan. “Tapi mana bisa benda yang ada di foto bisa keluar?”. Aku memerintah semua bagian otakku untuk kembali berpikir.
Atau jangan-jangan ini Ayah? Jangan-jangan yang selama ini mengelus punggungku itu Ayah? Dan bayangan yang kulihat tadi malam itu Ayah? Tanpa disadari aku meneteskan air mata. Rasa rindu pada Ayah yang selama ini aku pendam tiba-tiba muncul kembali.
“Ayah, atau siapapun itu yang selalu mendatangiku setiap malam. Teruslah seperti ini, aku tidak keberatan, apalagi jika kau memang benar-benar Ayah. Datanglah setiap malam. Kau tahu, aku sangat merindukanmu.” Entah kenapa aku bisa-bisanya mengucapkan kata-kata seperti itu. Bagaimana jika sosok itu bukan Ayah melainkan hantu atau makhluk sejenisnya? Tapi sudahlah, sejujurnya aku juga merasa sangat nyaman saat sosok itu mengelus punggungku. Rasanya seperti pelukan Ayah yang sudah lama tidak aku rasakan.


TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar

 

Honey Bunny Template by Ipietoon Cute Blog Design