20171027

Analisis Puisi Derai-Derai Cemara

Derai-Derai Cemara
Karya Chairil Anwar

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah


I.                   Analisis Unsur Intrinsik

1.      Tema
Tema yang digunakan dalam puisi “Derai-Derai Cemara” adalah tentang perubahan yang terjadi didalam diri manusia  yang terpisah dari kehidupan masa lalu.

2.      Diksi
Diksi yang digunakan dalam puisi ini sangat sederhana, sehingga pembaca mudah memahami puisi ini, selain itu pembaca juga seolah-olah merasakan apa yang dialami oleh pengarang.

3.      Majas
Didalam puisi “Derai-Derai Cemara” terdapat beberapa majas atau gaya bahasa, diantaranya yaitu :

a.)    Majas Personifikasi (perumpamaan benda mati sebagai makhluk hidup)

“Dipukul angin yang terpendam”
           
Kalimat diatas menggunakan majas personifikasi karena yang sifatnya bisa memukul adalah manusia bukan angin.
b.)    Majas Alegori (menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran)

“Hidup hanya menunda kekalahan”

Kalimat diatas menggunaan majas alegori karena memiliki makna bahwa hidup itu berarti sia-sia.


4.      Rima
Rima adalah pengulangan bunyi untuk membentuk eindahan bunyi. Dalam puisi ini pengarang menggunakan rima dengan akhiran a-b-a-b dari bait pertama sampai bait ketiga.

5.      Tipografi
Tipografi adalah penataan bentuk larik atau baris dalam puisi yang dapat menambah aspek kekuatan makna dan ekspresi penyair. Dalam puisi “Derai-Derai Cemara” terdiri dari tiga bait, dan setiap baitnya terdiri dari empat larik. Bait pertama sampai bait ketiga hadir dengan tipografi lurus dan struktur yang teratur dengan pola rima a-b-a-b, tetapi tidak sama dengan pantun karena tidak ada sampirannya, semua larik digunakan oleh pengarang sebagai sarana pengantar kepuitisan. Kata-kata yang digunakan dalam sajak ini kebanyakan diisi dengan simbol, citraan, gaya bahasa, dan sarana puitis. Sarana puitis inilah yang digunakan pleh pengarang untuk menggambarkan hidupnya yang semakin lemah.

6.      Amanat
Puisi ini cocok dibaca oleh semua kalangan karena pada saat ini masyarakat cenderung bekerja keras tetapi lupa pada penciptanya. Puisi ini dapat mengajarkan kita bahwa sesungguhnya sekeras apapun kita berusaha tetap saja semua jalan hidup dan keputusan Allah Swt yang menentukannya.

II.                Analisis Unsur Ekstrinsik

1.      Biografi Pengarang

            Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922 — Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” (dalam karyanya berjudul Aku ) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ‘45 dan puisi modern Indonesia.

Masa Kecil
                        Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
                        Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
                        Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Masa Dewasa
                        Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
                        Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir Hidup
                        Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC. Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

2.      Nilai-nilai yang terkandung dalam puisi “Derai-Derai Cemara” diantaranya yaitu :

a.)    Nilai Moral
Untuk berusaha mencapai cita-cita atau apa saja yang kita inginkan.
b.)   Nilai Agama
Bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, oleh karena itu kita diberi batas waktu untuk menggapai cita-cita atau apa saja yang diinginkan. Jadi manfaatkanlah waktu sebaik mungkin dan semampu kita.

3.      Menghubungkan Puisi Dengan Realitas Alam
Pada bait pertama sangat banyak berhubungan dengan alam, seperti yang terdapat pada kalimat :

                        “Cemara menderai sampai jauh”
           
Kalimat diatas memiliki maksut bahwa dedaunan cemara yang jatuh berguguran seolah-olah menceritakan sebuah kehidupan yang mulai lelah. Lalu pada bait selanjutnya yaitu :

                        “Terasa hari akan jadi malam”

Malam identik dengan kesunyian, kegelapan, waktu untuk istirahat dan akhir dari sebuah kejadian yang terjadi hari ini. Kalimat diatas merupakan penggambaran tentang perjalanan hidup yang pasti akan selalu berakhir dan semua yang bernyawa pasti akan mati.

4.      Menghubungkan Dengan Sosial Budaya
Hubungannya terlihat pada bait kedua yaitu tentang kewajiban atau batasan yang bisa dilakukan oleh anak-anak atau orang dewasa. Dalam masyarakat ada pembagian tanggung jawab, antara anak-anak dan orang dewasa memiliki tanggung jawab yang berbeda.

III.             Interpretasi Puisi
“Derai-Derai Cemara” pada judul merupakan gambaran dari daun-daun cemara yang berguguran. Mempunyai makna tentang runtuhnya harapan penyair sejak awal masa kanak-kanaknya.

1.      Bait Pertama

a.)    Kalimat I

“Cemara menderai sampai jauh”

Cemara merupakan pohon yang berbatang tinggi, lurus, daunnya kecil-kecil seperti lidi dan mudah terhempas oleh angin. Menderai sendiri maknanya berjatuhan atau berguguran. Cemara menerai sampai jauh disini maksutnya bahwa dedaunan cemara yang jatuh berguguran, seolah-olah menceritakan sebuah perjalanan kehidupan yang mulai lelah.

b.)   Kalimat II

                        “Terasa hari akan jadi malam”

Malam sendiri identik dengan kesunyian, kegelapan, waktu untuk istirahat, dan akhir dari sebuag kejadian yang terjadi hari ini. Terasa hari akan jadi malam merupakan penggambaran tentang perjalanan hidup yang pasti akan selalu berakhir dan semua yang bernyawa pasti akan mati.

c.)    Kalimat III

                        “Ada beberapa dahan di tingkap merapuh”

Tingkap sendiri artinya jendela yang berada di atap (di dinding dan sebagainya). Sedangkan dahan bermakna sebagai keyakinan pengarang yang ingin hidup lebih lama dan melawan kematian. Sementara merapuh karena dahan itu (keyakinan)  pengarang yang ingin hidup lebih lama semakin merapuh.

d.)   Kalimat IV

                        “Dipukul angin yang terpendam”

Angin digambarkan tentang segala cobaan dan kepahitan hidup yang dialami oleh pengarang. Dipukul angin yang terpendam, mungkin disini maksutnya pengarang ingin mengatakan sesuatu pada seseorang tetapi tidak pernah bisa dikatakan, seperti tertahan ditenggorokannya. Pengarang hanya bisa memendam perasaannya, hal ini menyebabkan pertentangan batin yang memukul dahan (keyakinan) yang merapuh dari dalam diri pengarang.

2.      Bait Kedua

a.)    Kalimat I
“Aku sekarang orangnya bisa tahan”

Pengarang saat ini sudah tahan dengan keadaan (segala cobaan dan kepahitan hidup) yang pengarang pernah alami sebelumnya.

b.)   Kalimat II

“Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi”

Menggambarkan tentang pandangan yang terjadi saat pengarang masih kanak-kanak dan pandangan itu tidak ada keterkaitannya ketika dia telah beranjak dewasa atau meninggalkan masa kanak-kanaknya. Sekarang pengarang sudah didewasakan oleh keadaan dimana dia pernah merasakan pengalaman pahit, rapuh dan dia sudah bisa menerima keadaan jika sesuatu yang dia inginkan tidak semuanya bisa didapatkan atau dimiliki.

c.)    Kalimat III

“Tapi dulu memang ada suatu bahan”

Pernyataan pengarang bahwa dia mempunyai pengalaman yang mampu mendewasakannya. Dia juga mempunyai cita-cita atau pandangan hidup pada masa kecilnya.

d.)   Kalimat IV

“Yang bukan dasar perhitungan kini”

Apa yang dicita-citakan pengarang pada waktu kecil tidak terjadi pada masa sekarang (saat dewasa), dan pandangan tentang hidupnya telah berbeda dari apa yang pernah pengarang pikirkan saat dia masih kanak-kanak.

3.      Bait Ketiga

a.)    Kalimat I

“Hidup hanya menunda kekalahan”

Kekalahan adalah simbol suatu kepasrahan dan sangat identik dengan keputusasaan, penderitaan bahkan kematian. Pengarang menyadari bahwa kehidupan manusia pasti akan berakhir. Kematian merupakan bentuk kekalahan manusia. Manusia tidak bisa mengelak, karena kematian merupakan ketentuan yang harus diterima dari Allah Swt.
b.)   Kalimat II

“Tambah terasing dari cinta sekolah rendah”

Cita-cita penyair pada masa kanak-kanak begitu cemerlang namun dia selalu mengalami penderitaan (cobaan) dalam hidupnya. Pada kata “terasing” menceritakan tentang rencana pengarang tentang cita-cita atau tujuan hidupnya, namun berbeda dengan apa yang diharapkan, sehingga membawa dia ke dunia yang dianggap asing dan pada akhirnya berujung pada kepasrahan atau menyerah pada kematian.

c.)    Kalimat III

“Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan”

Pengarang ingin berbagi kegetiran hidup, ingin mengatakan cinta tetapi tidak berani untuk mengungkapkannya dan hanya memendam semua itu dalam jiwanya. Semuanya dia simpan sendiri tidak ingin diucapkan atau memang tidak bisa diucapkan kepada orang lain.

d.)   Kalimat IV

“Sebelum pada akhirnya kita menyerah”
           
Pengarang merasakan lelah, raganya tidak kuat lagi dan memutuskan untuk berhenti memperjuangkan apa yang diinginkan karena pada dasarnya tidak semua yang diinginkan bisa dimiliki. Pengarang sudah berjuang sekuat tenaga, tetapi tetap saja tidak bisa dan pada akhirnya dia merasa sudah waktunya untuk menyerah. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti akan berakhir, dan setiap yang bernyawa pasti akan mati.

IV.             Tingkat Pengalaman Jiwa Pengarang dalam Puisi “Derai-Derai Cemara”

1.      Anargonis
Pengarang sudah mencapai tingkat pengalaman jiwa yang pertama karena apa yang sedang dirasakan oleh pengarang, dia mampu menuangkannya dalam rangkaian kata-kata yang indah dengan pilihan diksi yang mudah dipahami oleh pembaca. Selain itu pengarang telah memberikan imajinasi atau daya bayang kepada pembaca.

2.      Vegetatif
Tingkatan pengalaman jiwa pengarang sudah mencapai tingkatan yang kedua karena didalam menciptakan puisi sudah terlihat jelas dan dapat dirasakan oleh pembaca. Didalam puisi ini berisikan suasana sedih, pasrah dan putus asa. Pengarang menggambarkan perjalan hidup tokoh dari masa kanak-kanak hingga dewasa, selain itu secara eksplisit juga menggambarkan bahwa manusia itu hidup semakin lama akan semakin menua hingga pada akhirnya harus menyerah dengan kematian.

3.      Animal
Tingkatan pengalaman jiwa pengarang sudah mencapai tingkatan ketiga. Tingkatan ini sudah ada dalam jiwa pengarang yang berkeinginan untuk tetap berusaha mewujudkan apa yang dicita-citakannya, meskipun pada akhirnya tidak semua yang diinginkan bisa tercapai.

4.      Filosofi/Religius

Tingkatan pengalaman jiwa pengarang sudah mencapai tingkatan yang paling tinggi. Tingkatan ini sudah ada dalam jiwa pengarang karena didalam puisinya ingin memberitahukan kepada pembaca bahwa kehidupan manusia itu pada dasarnya pasti akan berakhir, dan kematian merupakan bentuk kekalahan manusia. Manusia tidak dapat mengelak, karena kematian merupakan ketentuan yang harus diterima dari Allah Swt.

1 komentar:

 

Honey Bunny Template by Ipietoon Cute Blog Design